Antara dua pilihan yang sulit aku tentukan. Itulah yang aku alami
saat ini, saat dimana kedua dari pilihan ini sulit untukku tentukan yang mana.
“ahhh apa memang harus begini”
gumamku dalam hati. Entah bagaimana dan mengapa aku harus melakukan pilihan,
kadang aku merasa aku harus memilih satu dan meninggalkan yang satunya, tapi
dari keduanya akan menentukan masa depanku. Mau pilih yang ini, masa depanku
akan begini, mau pilih yang itu, masa depanku akan begitu. “ya Allah, mana yang hamba harus lakukan?”.
“kamu sebaiknya tinggal dulu Kir, disini banyak yang akan dikaji”
kata Nafis, teman yang paling disegani di tempat ku saat ini.
“aku bingung Fis, aku harus
menentukan yang mana, aku tau dengan berada di sini aku akan lebih mendaptkan
pengetahuan”
“lantas apa yang membuat kamu binggung Kir, bukankah kita selalu
diajarkan untuk bagaimana menentukan sikap dalam mengambil keputusan yang kita
jalani, ingat kata-kata ustadz Dhofir Kir, masa depanmu tergantung bagaimana
kamu mengamambil sikap saat ini.” Nafis mencoba memberikan stimulus agar
aku bias mengambil sikap.
Dalam umur aku mungkin lebih tua
daripada Nafis, selisih 2 tahun, tapi dalam keilmuan dan pola pikir aku jauh
dibawahnya. Dia sangat disegani di sini karena daya nalarnya yang begitu
tinggi. Memang setiap malam pas ada kajian-kajian, kita sebagai santri selalu
didoktrin oleh ustadz Dhofir agar bias mengambil sikap, agar pola pikir dan
pola sikap kita dewasa. Ustadz Dhofir selalu mengatakan kepada kita, “manusia pada dasarnya dilahirkan memiliki
hak untuk sukses, jadi ambillah hak anda anak muda”. Banyak kata-kata
mutiara yang ditanamkan kepada kepala santri-santri oleh ustadz Dhofir,
tujuannya hanya ingin melihat para santrinya tidak terpaku terhadap masa
lalunya. “sekotor apapun masa lalu kamu,
ingat masa depan kamu sangat suci, jadi jangan kamu kotori masa depan kamu”.
Ini adalah salah satu kata yang menjadi landasan hidupku saat ini, masa laluku
memang kotor.
Sebelum berada disini, aku
adalah orang yang hidupnya tidak karuan, melakukan apa saja yang penting heppy, tidak memikirkan semua yang
dilakukan apakah tidak keluar dari ranah agama, ya tapi itulah hidup orang yang
tidak tuntas dalam berdialog dengan agama.
“kenapa kamu merenung Kir?” kata ustadz Dhofir mengagetkanku saat
aku lagi duduk sendiri dilantai dua sambil memainkan gitar.
“ndak apa-apa pak, saya Cuma duduk-duduk biasa saja pak” jawabku
sambil bingung kapan ustadz Dhofir datang.
“saya tahu kamu bingung dengan pilihan yang ada dikepalamu Kir, kamu
ingin pulang kan?, tapi kamu masih berat untuk pulang karena begitu banyak yang
akan dipelajari di sini”
“enggih pak, orang tua saya selalu menanyakan kapan saya pulang pak,
saya masih belum mengatakan kapan saya pulang, karena saya masih bingung mau
pulang cepat atau pulang nanti saja pak” saya mencoba menceritakan kepada
ustadz Dhofir apa yang membuat saya bingung.
“Kamu harus bias mengambil sikap Kir, kamu harus bias memilih salah satu
dari keduanya”
“enggih pak”
“dari yang kamu pilih, kamu harus bias membuat orang lain yakin,
lebih-lebih meyakinkan dirimu sendiri kir” ustadz Dhofir mencoba menggiring
pemikiranku agar bias mengambil sikap.
“apa pun yang kamu pilih, itu harus meyakinkan, lebih-lebih meyakinkan
dirimu sendiri, jika kamu memilih untuk pulang, maka yakinlah dengan pilihanmu,
dan jika kamu memilih untuk diam disini, maka kamu harus bias meyakinkan orang
tuamu”. Sambungnya mencoba ntuk meyakinkan ku.
Sore menjelang, matahari mulai
merunduk untuk brsemayam dikandangnya, matahari sudah mau ditelan gelap malam
untuk digantikan dengan lahirnya rembulan. Aku masih berada di lantai dua, kali
ini aku berada di luar. Setelah sekian lama duduk merenung ditemani rokok
trubus seharga 5 ribu, aku dikagetkan oek hentakan dari temanku yang jahil.
“sampean lagi apa mas box” Tanya Heri setelah mengagetkanku dengan
sebuah papan kecil yang dijatuhkan di samping kananku. Heri biasa memanggilku Bokir,
kadang disingkat dengan sebutan Box.
“sampean mengagetkan aku aja Her”
“Sampean dari tadi pagi aku lihat merenung terus di atas, sampean masih
memikirkan tentang rencana pulang ya”
“ndak juga Her, aku Cuma males aja turun, di bawah juga paling gini”
jawabku sambil mengisap rokok yang baru aku hidupkan.
“ooo ya Her, tugas ampean sudah jadi belum?” aku mencoba mengaluhkan
pembicaraan agar Heri tidak menanyakan tentang sesuatu yang membuatku bingung
lagi.
“ya kalau sampean belum jadi, aku juga belum Box, kitakan satu”
jawabnya sambil tertawa.
“ahh sampean , sudah kita salat magrib aja yuk, itu Onok sudah mau azan”.
Ya beginilah, setelah hampir
seharian merenungi masalah sepele yang sulit untuk aku pilih ini. Aku mencoba
mencari dengan menenangkan diri sejenak dengan salat magrib, istighasah, zikir,
dan membaca al-qur’an beberapa lembar saja. “ya Allah mana yang harus hamba pilih, jika memilih diam bantu hamba
menjelaskan kepada orang tua dengan semua ini, dan jika memilih pulang,
yakinkan dalam hati hamba agar tidak ada penyesalan nantinya, hamba bener-bener
sulit untuk mengambil sikap ya Allah”.
“Akir turun makan” teriakan Saipul
memanggilku untuk makan.
“ya Pul”
“sampean kok merenung terus Kir, masak pilihan yang sepele gitu sampean
tidak bisa mengambil sikap” gumam Nafis kepadaku
“kalau sampean begitu terus, buat apa sampean belajar filsafat”
ditambah Heri yang mencoba memojokkanku.
“bukankah filsafat lahir dari rasa heran” aku mencoba mengeluarkan
diri dari pojoan-pojoan yang dilakukan oleh teman-temanku ini.
“filsafat memang lahir dari rasa heran, tapi herannya sampean sama
herannya Thales
itu berbeda. Sampean hal yang begitu saja bingung, apalagi yang lebih nantinya
pas sampean memiliki peran di masyarakat. Sudahlah kalau sampean mau pulang, ya
sampean pulang saja, dan kalau bias jangan kembali lagi kesini, STF tidak
membutuhkan orang yang memiliki pola pikir dan pola sikap tembek kayak sampean,
masak begitu saja dibingungin” kata-kata Nafis dengan nada yang sedikit
berbeda dari sebelumnya.
“ayok ahh makan dulu,natar debatnya dilanjutin, Cuma masalah seperti itu
kok didebati segala” Yunus mencoba meneangkan dengan mengajak lapar.
Mungkin disinilah akuitu harus
bias mengambil sikap, apa yang saya pilih adalah pilihan saya, bukan pilihan
atau bahkan paksaan dengan orang lain. Aku mau mengambil garis tengah diantara
keduanya saja, “jika maku dibingungkan
oleh dua hal yang sulit untuk kamu putuskan, maka ambillah garis tengah
diantara keduanya”.
“ya aku harus mengambil garis tengah”,
kata-kata terbesit dalam hati, “jika
keluargaku menyuruh aku untuk pulang cepat, sementara ada kajian yang sangat
berat untuk aku tinggalkan, ya aku harus
bias mengambil jalan tengah dari deduanya, pulang agak sedikit lambat, dan
mengikuti sebagian dari kajian yang akan dikaji”.
Trrriinnggg…trrriinnggg ,
“halo, assalamu’alaikum”
“wa’alaikumussalam, kapan kamu
pulang nak?”
“nanti buk, saya masih banyak
kegiatan disini buk, lagipula walaupun saya pulang, tidak ada yang saya
kerjakan di rumah buk, sementara di sini saya bias belajar, menambah keilmuan
saya buk, lebih-lebih pemahaman saya tentang agama”, aku mencoba
menjelaskan kepada ibu yang selalu menanyakan kapan pulang.
“ya lah nak tidak apa-apa, ibu
syukur akhirnya sekarang kamu sudah mulai memikirkan tentang agama, kamu adalah
harapan ibu nak, ibu tidak ingin kamu seperti ibu dan ayahmu yang tidak paham
agama, belajarlah dulu nak, do’a ibu akan selalu tercurahkan untuk
keberhasilanmu nak”
“terima kasih buk jika ibu
mengerti sengan saya, saya pasti pulang kok buk, hanya saja mungkin agak
terlambat, tapa saya pasti pulang” jawabku dengan sedikit lega karena ibu
mengerti dengan keinginanku yang masih ingin menuntut ilmu.
“ya nak, ya sudah sekarang
kamu belajar ya, sudah jangan pikirin pulang dulu, nanti kalau kamu pulang,
kamu sms kakak kamu saja untuk minta uang ongkos pulang, sekarang ibu mau
berangkat jualan dulu”
“ya buk, assalamu’alaikum”
“wa’alaikumussalam nak”
“Alhamdulillah, akhirnya ibu mengerti juga walaupun aku terlambat pulang”
gumamku dalam hati setelah telpon dimatikan dari seberang sana.
“Akir”
“ya pak” jawab ku sambil sedikit tesenyum kepada ustadz Dhofir
“kamu jadi pilang Kir?” Tanya ustadz Dhofir kepadaku.
“nantilah pak, lagi pula saya belum dapat apa-apa dari sini untuk saya
bawa pulang, entar jika saya pulang dan tidak membawa apa-apa, ini juga kan
mengurangi refutasi STF pak” aku mencoba menjelaskan dengan sedikit
keyakinan.
“syukurlah Kir kalau kamu sudah bias mengambil sikap, ya sudah sekarang
saya bisa minta tolong tidak sama Akir, tolong Akir pergi belikan nasi goreng
dipasar, lalu diantarkan ke kos ya” sedikit tersenyum sambil memberikan
uang kepadaku untuk membeli nasi goreng.
“enggih pak”.
Rumah para filosof
muda, 23 mei 2015.